Kegilaan, menurut Michel Foucault, merupakan gejala yang dibentuk oleh kelompok elite di suatu masyarakat. Kelompok elite ini bisa dalam wujud pemerintah, ilmuwan, dokter, agamawan dan lain sebagainya. Kelompok elite ini menggunakan kategori “gila” sebagai senjata untuk menyingkirkan pihak-pihak yang tidak dikehendaki oleh mereka. Ketika seseorang dikatakan “gila” maka ia akan disingkirkan dari masyarakat umum. Akhirnya, komposisi suatu masyarakat diatur oleh kelompok elite ini.
Kelompok elite ini menciptakan simbol-simbol tertentu untuk klasifikasi gila dan waras. Simbol-simbol tersebut disusun sedemikian rupa sehingga menjadi sesuatu yang ilmiah dan diakui secara umum.
Michel Foucault mempertahankan pandangannya ini dengan memaparkan kategori gila dari masa ke masa. Ternyata, kategori gila berbeda-beda untuk setiap masa. Ini berarti memperkuat pandangannya tersebut. Berikut ini kategori gila pada tiga masa yang dipaparkan oleh Michel Foucault:
Periode renaissance (abad ke-15 s.d ke-16), pada masa ini “gila” tidak dipertentangkan dengan akal. Maksudnya, orang gila bukan berarti orang yang tidak berakal. Kegilaan adalah kebebasan imajinasi dan masih menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat. Kegilaan pada masa ini dianggap dekat dengan kebahagiaan dan kebenaran. Kegilaan menjadi cermin yang mencopot kedok dari pengetahuan semu dengan segala pretensi dan ilusinya. Singkatnya, kegilaan menempati tempat yang tinggi karena dianggap mampu mencapai kebenaran lebih dari yang dicapai oleh akal (rasio). Pada masa ini orang gila masih berbaur dengan masyarakat umum.
Periode klasik (abad ke-17 s.d ke-18), pada masa ini “gila” dipertentangkan dengan rasio. Orang gila adalah orang yang tidak berakal (unreason). Kegilaan dianggap sebagai kemunduran manusia ke taraf binatang. Oleh karena sudah mundur ke taraf binatang, maka gagasan dari orang gila dianggap sekedar angin lalu yang tidak perlu digubris. Pada masa ini, orang gila ditempatkan di tempat khusus yaitu hospital. Hospital di sini tidak sama dengan rumah sakit, melainkan tempat yang digunakan untuk menampung orang gila, gelandangan, nara pidana dan orang-orang yang dianggap tidak berguna dan mengganggu ketertiban umum. Maka, hospital menjadi tempat bersama bagi orang-orang tidak berguna ini.
Periode pasca klasik (akhir abad ke-18), pada masa ini “gila” dipertentangkan dengan moralitas. Orang gila adalah mereka yang tidak patuh terhadap moralitas. Pada masa ini orang gila mendapat tempat khusus yang disebut dengan Asylum. Di dalamnya, orang gila diajarkan untuk patuh dan tunduk pada hukum moral. Nampaknya, hukum moral di sini adalah hukum yang sesuai dengan kodrat manusia. Maka, orang gila adalah orang yang menjauh dari kodratnya yang wajar. Masyarakat dengan peradaban tinggi akan memiliki lebih banyak orang gila karena peradaban tinggi menjauhkan manusia dari kodratnya.
Dari perbedaan kategori “gila” pada tiga periode di atas, Michel Foucault menyimpulkan bahwa kegilaan adalah hasil ciptaan kelompok elite untuk menyingkirkan pihak-pihak tertentu yang dianggap menghambat kepentingan mereka (kelompok elite).
saat ini kita kita telah berada pada peradaban modern. yang mana tolak ukur dari klasifikasi seseorang dikatakan gila telah sedikit bergeser dari peradaban peradaban sebelumnya. saat ini kita berada di abad modern yang dimana arus informasi begitu cepat tak terhentikan. salah satu contoh yang saat ini bisa kita anggap sebagai salah satu kegilaan bagi masyarakat modern saat ini adalah Fear of missing out
Fear of missing out yang biasa disingkat FoMO adalah jenis kecemasan yang umum dirasakan generasi Y alias milenial, yaitu generasi yang lahir antara 1980 - 1990 an Kondisi ini semakin marak saat Instagram, Twitter, Facebook, Snapchat, Path, dan media sosial sosial lainnya, berubah menjadi suatu bagian penting dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Setiap hari, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, orang berbondong-bondong menyajikan atau berusaha menjadi yang pertama untuk update informasi tertentu. Sedangkan orang dengan FoMO adalah orang yang paling gampang cemas, tidak nyaman, dan risau kalau mereka ketinggalan informasi apa pun di media sosial.
Menurut Department of Psychology, School of Social Sciences, Nottingham Trent University, di Inggris, FoMO adalah suatu kondisi yang bisa menyebabkan orang berlaku di luar batas kewajaran di media sosial. Selain takut ketinggalan berita di media sosial, mereka juga kadang sengaja memasang gambar, tulisan, atau bahkan mempromosikan diri yang belum tentu jujur hanya demi terlihat update. Ironisnya, hal ini bisa dianggap sebagai cari sensasi dan kebahagiaan mereka di media sosial palsu.
nah sekarang apa yang harus kita lakukan untuk mencegah penyakit kegilaan? jawabannya adalah kembali kepada diri kita sendiri. tidak selamanya kita harus selalu dekat dengan dunia maya. karna di dunia nyata begitu banyak informasi yang bisa kita dapatkan dan pastinya informasi tersebut lebih dapat dipercaya.
Menurut Department of Psychology, School of Social Sciences, Nottingham Trent University, di Inggris, FoMO adalah suatu kondisi yang bisa menyebabkan orang berlaku di luar batas kewajaran di media sosial. Selain takut ketinggalan berita di media sosial, mereka juga kadang sengaja memasang gambar, tulisan, atau bahkan mempromosikan diri yang belum tentu jujur hanya demi terlihat update. Ironisnya, hal ini bisa dianggap sebagai cari sensasi dan kebahagiaan mereka di media sosial palsu.
nah sekarang apa yang harus kita lakukan untuk mencegah penyakit kegilaan? jawabannya adalah kembali kepada diri kita sendiri. tidak selamanya kita harus selalu dekat dengan dunia maya. karna di dunia nyata begitu banyak informasi yang bisa kita dapatkan dan pastinya informasi tersebut lebih dapat dipercaya.
Sumber:
- https://www.psychologytoday.com/intl/blog/how-be-yourself/201608/how-overcome-fomo
- https://www.psychologytoday.com/intl/blog/click-here-happiness/201901/how-do-you-overcome-fomo
- https://www.kompasiana.com/nanangrosidi/552002f88133113d209dfd85/kegilaan-menurut-michel-foucault
Komentar
Posting Komentar