GEOLOGI REGIONAL PALU

2.1.1.   Geomorfologi Regional
            Pulau Sulawesi secara morfologi terdiri atas daratan dengan ketinggian 0 – 50 meter, dan pegunungan dengan ketinggian tertinggi mencapai 3.428 meter (puncak Gunung Latimojong). Secara fisiografis, Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sulawesi menjadi tujuh satuan fisiografis, yaitu Lengan Utara, Lengan Timur, Kepulauan Banggai, Lengan Tenggara, Kepulauan Buton dan Tukang Besi, Lengan Selatan, dan Sentral Celebes. Berdasarkan pembagian tersebut, daerah penelitian termasuk dalam satuan fisiografis Sentral Celebes. Van Bemmelen (1949) menggambarkan bagian Sentral Celebes mempunyai bentuk seperti membaji, mulai dari pesisir bagian barat yaitu Teluk Tomori hingga Teluk Tolo di bagian timur.
Sukamto (1973) menjelaskan bahwa daerah Palu terdiri dari jajaran pegunungan barat dan jajaran pegunungan timur yang keduanya berarah utara-selatan dan terpisahkan oleh Lembah Palu (Fosa Sarasina). Jajaran pegunungan barat berada di dekat Palu dengan ketinggian hingga lebih dari 2000 meter, namun di Donggala menurun hingga mukalaut. Jajaran pegunungan timur dengan tinggi puncak dari 400 meter hingga 1900 meter yang menghubungkan pegunungan di Sulawesi Tengah dengan lengan utara (Sukamto, 1973).
2.1.2.   Stratigrafi Regional
Stratigrafi daerah Palu tersusun oleh batuan berumur Kapur hingga Kwar-
ter (Gambar 2.2.). Batuan tertua adalah Kompleks Metamorf Palu (Palu Metamorphic Complex) yang tersingkap pada jajaran pegunungan timur yang diperkirakan berumur Pra-Tersier / Kapur. Di atas kompleks batuan metamorf, Formasi Tinombo menindih tidak selaras yang terendapkan pada lingkungan laut dangkal berumur Eosen Tengah hingga Atas (Sukamto, 1973).

Gambar 2.2. Stratigrafi daerah Sulawesi Tengah bagian barat, Leher Sulawesi,  dan Lengan Utara Sulawesi bagian barat. Modifikasi dari Van Leeuwen dan Muhardjo (2005).
Batuan Intrusi (Granitoid Undivided) dijumpai menerobos kompleks batuan metamorf dan Formasi Tinombo, merupakan hasil aktivitas vulkanik dari Formasi Tinombo berdasarkan kesamaan geokimia dan penanggalan K/Ar (Van Leeuwen et al., 2016) tetapi tidak terpetakan (Sukamto, 1973).
Molasa Celebes (Celebes Mollase) yang berumur Pliosen – Plistosen (Van Leeuwen et al., 2016) terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Tinombo. Endapan Molasa Celebes terdiri dari rombakan yang berasal dari formasi-formasi lebih tua, antara lain konglomerat, batupasir, batulumpur, batugamping-koral, dan napal, yang hanya mengeras lemah. Di atas endapan Molasa Celebes, terendapkan secara tidak selaras endapan aluvial pada lingkungan sungai, delta, dan laut dangkal berumur Holosen (Sukamto, 1973).
Penjelasan mengenai komposisi batuan dari masing-masing satuan batuan mulai dari yang tertua hingga termuda dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini.
1.      Kompleks Batuan Metamorf
Kompleks batuan metamorf terdiri dari sekis amfibolit, sekis, genes, dan
marmer. Sekis banyak terdapat di sisi barat, sedangkan genes dan marmer banyak terdapat di sisi timur. Tubuh-tubuh intrusi tidak dapat terpetakan, umumnya mempunyai lebar kurang dari 50 meter, menerobos kompleks batuan metamorf, dengan tipe batuan dari diorite hingga granodiorit. Umur metamorfisme belum diketahui, tetapi kemungkinan pra-Tersier. Bouwe (1947) dalam Sukamto (1973) berpendapat, bahwa sekis yang tersingkap di seantero Sulawesi sebagian berumur Paleozoikum.

2.      Formasi Tinombo
Rangkaian Formasi Tinombo tersingkap luas, baik di jajaran pegunungan timur maupun barat yang menindih kompleks batuan metamorf. Utamanya terdiri dari serpih, batupasir, konglomerat, batugamping, rijang radiolaria dan batuan gunungapi, yang terendapkan di dalam lingkungan laut.
            Pada daerah yang dekat Intrusi terdapat sabak dan batuan terkersikkan, sedangkan yang lebih dekat dengan kontak membentuk filit dan kuarsit. Bagian barat jajaran pegunungan barat mengandung lebih banyak batupasir rijang daripada tempat lain. Diabas, pilit dan andesit di selatan Donggala dan di selatan Kasimbar dipetakan dengan batuan sedimen. Rombakan batuan gunungapi biasa terdapat dalam batupasir sedangkan batugamping yang dijumpai hanya sebagai lapisan-lapisan tipis. Dijumpai pula intrusi-instrusi kecil pada formasi ini. Berdasarkan fosil yang dijumpai pada formasi ini antara lain Discocyclina sp., Globorotaloid, Globigerina, dan ganggang gampingan, menunjukkan umur Eosen. Fosil-fosil yang ditemukan oleh Socal (Standard Oil Company of California): Pellastipira?, cf.? P. infata, cf. Pararotalia sp., Eofabiana, Pellatispira crassicolumnata?, Sphaerogypsina sp., Orbitolites sp., Rotalia sp., dan Carpenteria hamiltonensis menunjukkan umur Eosen Tengah hingga Atas (Sukamto, 1973).
3.      Batuan Intrusi

Menurut Sukamto (1973), berdasarkan hasil pengamatan dari beberapa generasi intrusi menunjukkan bahwa  intrusi andesit dan basalt kecil-kecil di semenanjung Donggala merupakan intrusi yang tertua. Intrusi-intrusi ini kemungkinan merupakan hasil aktivitas dari batuan volkanik di dalam Formasi Tinombo. Intrusi-intrusi Kecil selebar kurang dari 50m yang umumnya terdiri dari diorit, porfiri diorit, mikrodiorit menerobos Formasi Tinombo sebelum endapan molasa, dan tersebar luas di seluruh daerah. Semuanya tak terpetakan. Granit dan granodiorit yang telah terpetakan pada Gambar 8.1. sebagai Dondo Granite tercirikan oleh fenokris feldspar kalium sepanjang hingga 8 cm. Penanggalan Kalium / Argon telah dilakukan oleh Gulf Oil Company terhadap dua contoh granodiorit dari daerah ini. Intrusi yang tersingkap di antara Palu dan Donggala memberikan penanggalan 31,0 juta tahun pada analisa K/Ar dari feldspar. Yang lainnya adalah suatu intrusi yang tidak terpetakan, terletak kira-kira 15 km timur-laut dari Donggala, tersingkap di bawah koral Kuarter, memberikan penanggalan 8,6 juta tahun pada analisa K/Ar dari biotit (Sukamto, 1973).
4.      Molasa Celebes
            Formasi ini terdapat pada daerah yang lebih rendah pada sisi-sisi kedua jajaran pegunungan, menindih secara tidak selaras Formasi Tinombo dan kompleks batuan metamorf, terdiri dari rombakan yang berasal dari formasi-formasi lebih tua, antara lain konglomerat, batupasir, batulumpur, batugamping-koral, dan napal, yang hanya mengeras lemah. Di dekat kompleks batuan metamorf pada bagian barat jajaran pegunungan endapan ini utamanya terdiri dari bongkah-bongkah kasar dan kemungkinan diendapkan di dekat sesar yang semakin kearah laut beralih menjadi batuan klastika berbutir lebih halus.  Formasi ini berumur Pliosen – Plistosen (Van Leeuwen et al., 2016). Sebagian besar daerah penelitian termasuk dalam formasi ini.
5.      Aluvium dan Endapan Pantai
            Kerikil, pasir, lumpur dan batugamping koral terbentuk dalam lingkungan
sungai, delta, dan laut dangkal merupakan sedimen termuda di daerah ini. Endapan tersebut kemungkinan seluruhnya berumur Holosen. Didaerah dekat Labea dan Tambo terumbu koral membentuk bukit-bukit yang rendah (Sukamto, 1973).

2.1.3.   Struktur Geologi Regional
            Struktur geologi utama Pulau Sulawesi terdiri dari Sesar Palu-Koro, Sesar Walanae, Sesar Matano, Sesar Batui, Sesar Naik Poso, Sesar Balantak, Sesar Gorontalo, Tunjaman Sulawesi Utara, dan Teluk Bone (Surono dan Hartono, 2013) (Gambar 2.3). Struktur geologi regional didominasi oleh lajur Sesar Palu - Koro yang berarah utara baratlaut - selatan menenggara. Di darat, sesar ini dicirikan oleh adanya lembah sesar yang datar pada bagian dasarnya, dengan lebar mencapai 5 km di sekitar palu, dan dindingnya mencapai ketinggain 1.500 – 2.000 m di atas dasar lembah, sedangkan di laut dicirikan oleh kelurusan batimetri, yaitu kelurusan lereng dasar kaut terjal dan berakhir di Sesar Naik Poso (Surono dan Hartono, 2013). Menurut Sudrajat (1981) dalam Surono dan Hartono (2013), sesar ini membentang dari sebelah barat Kota Palu sampai Teluk Bone yang panjangnya kurang lebih 250 km, dengan kecepatan pergerakan transcurrent sekitar 2 – 3,5 mm sampai 14 – 17 mm/tahun. Tjia dan Zakaria (1974) dalam Surono dan Hartono (2013) menyebutkan bahwa sesar tersebut menunjukkan pergeseran mengiri dan Walpersdorf et al. (1997) dalam Surono dan Hartono (2013) dengan analisis interfrometri GPS (Global Positioning System) menunukkan pergeseran mengiri naik dengan kecepatan 3,4 mm / tahun. Sesar Palu-Koro memotong Sulawesi bagian barat dan tengah, menerus ke bagian utara sampai Palung Sulawesi Utara yang merupakan batas tepi benua di Laut Sulawesi (Sukamto & Simandjuntak, 1983). Jalur Sesar Palu-Koro merupakan sesar mendatar sinistral dengan pergeseran lebih dari 750 km.


Komentar

Postingan Populer